Yulita Alvernia Wijaya: Pentingnya Menjadi Brand Strategist yang Well Rounded

Yulita Alvernia Wijaya


"Makin complicated, makin interesting buat gue."

Setahun lalu, saya hadir di acara perpisahan Shintya Felicitas sebelum dia bertolak ke Amerika Selatan. Pada acara makan malam kasual tersebut, hadir pula beberapa sosok lain, Lurensia Irma dan Yulita Alvernia Wijaya. Hari itu sekaligus perkenalan saya dengan Yulita. Sembari makan, dia bercerita mengenai keputusannya untuk pindah ke Flock Creative Network.

Yulita berpindah ke biro iklan lokal Flock Creative Network setelah berkecimpung di perusahaan multinasional.
Sumber: Marketing Interactive.

Perpindahannya ke Flock Creative Network sempat diabadikan beberapa media. Bergabungnya Yulita saat itu bersamaan dengan team leader saya saat ini, Maria Angelica. Beberapa artikelnya dapat dibaca di sini dan di sini.

Setelah malam itu, kami hanya terkoneksi melalui Instagram, hingga suatu hari saat Foody Indonesia dinyatakan bergabung dengan perusahaan lain, sekaligus momen saat saya diterima di Froyo Story. Walau saya berkecimpung di dunia komunikasi, saya merasa belum siap untuk hari pertama di kantor baru. Semata-mata karena takut dianggap bodoh di kantor baru, saya menghubungi Yulita untuk sebuah sesi mentoring. Dia mengiyakan!


Kami bertemu di sebuah kedai kopi di Plaza Senayan. Tanpa banyak bertanya, dengan jelas dan terstruktur Yulita memberi saya bimbingan mengenai strategi komunikasi. Seluruh informasi, mulai dari latar belakang industri hingga distribusi kanal komunikasi, berhasil dia rangkum hanya dalam selembar kertas saja. Kertas itu menjadi kitab suci saya selama tiga bulan pertama, sembari memperkaya informasi yang lebih detail dari sumber lain.

Sebuah pertanyaan dilontarkan Yulita pada akhir sesi tersebut, “tapi lo paham kan kalau masuk agency belum tentu membuat hidup lo lebih baik?” Selain karena momentum merger, saya percaya bahwa saya pasti punya banyak kesempatan belajar di luar tekanan yang akan saya terima. C’est la vie.

Ada alasan mengapa saya mengontak Yulita untuk belajar. Pasalnya dia bukan daun muda dalam dunia periklanan. Dia berkarir di Ogilvy & Mather Indonesia selama empat tahun setelah enam bulan menjalani masa magang. Jika ditotal, enam tahun sudah Yulita membawa strategi dan ide untuk banyak merk ternama di Indonesia. 

Saya mengajak Yulita untuk berbincang tentang perjalanan karirnya sebagai strategist.


*****

Yulita Alvernia menjawab beberapa pertanyaan saya mengenai pekerjaan sebagai strategist.

Bagaimana pendapat Yulita mengenai industri periklanan saat ini?

Enam tahun berkecimpung di industri ini sebenarnya masih terhitung muda, tapi dari yang gue amati sejauh ini, banyak perubahan yang terjadi. 

Satu, pemain di industri ini makin beragam, banyak agency lokal yang bermunculan dan mencuri perhatian, salah satunya Flock Creative Network. Kalo dulu yang jadi aspirasi hanya multinational agency, sekarang lokal pun jadi aspirasi.

Dua, kebutuhan dan ekspektasi klien juga berubah karena competition landscape antar brand juga berubah. Kecepatan dalam bekerja jadi hal penting. Agency harus lebih gesit tanpa berkompromi soal kualitas. Being agile is a must!

Tiga, keterampilan yang dibutuhkan. Mindset-nya harus well rounded, bukan cuma “ah gue kan anak digital, ah gue kan anak ATL, ah gue kan anak creative, ah gue kan account, ah gue kan analyst”. Makin ke sini makin banyak posisi yang kadang gue pun bingung karena banyak tumpang tindih. 

Gue percaya satu hal yang tidak akan berubah di industri ini: it has to be idea-driven. Ide yang bisa menjawab problem. Dan jaman sekarang tantangan untuk brand makin kompleks, butuh point of view yang lebih luas buat melihat suatu masalah. Makanya kolaborasi itu penting, tidak kerja sendiri-sendiri kayak pabrik.

Dalam profil Linkedin, tertulis “it only took several weeks for me to realize that I want to be an expert in this field”. Apa yang membuat akhirnya Yulita mendapat gagasan tersebut?

Gue melihat sosok Ruby Sudoyo saat itu, direct supervisor gue yang juga Head of Planning di Ogilvy. Gue melihat cara dia menguraikan masalah yang kompleks jadi lebih jelas. Dan juga gimana dia bisa convince the whole team to follow her direction in solving the problem - yang mana merupakan peran utama strategic planner.

Apakah ada seseorang yang menjadi inspirasi/mentor Yulita dalam perjalanan karir selama ini?

First boss - Ruby. Salah satu yang paling berpengaruh di karir gue sampai saat ini. Gue masih sering minta pendapat terutama sebelum ambil keputusan soal career direction

Sosok lain, Yuliani Setiadi. Bukan direct supervisor gue, tapi I worked closely with her during my Ogilvy years. I admire her for her confidence and ambition. Mereka dua orang yang berpengaruh di awal-awal karir gue. Makin ke sini, gue makin ketemu banyak orang dan belajar dari mereka. Susah untuk disebut satu-satu.


Saat sedang mengerjakan sebuah proyek, bagian mana yang paling menyenangkan, dan bagian apa yang paling sulit?

Makin complicated, makin interesting buat gue. Gue suka ngulik problem, lihat dari banyak sudut pandang; bisnis, konsumen, budaya, channel, dan lain-lain. Rasanya puas banget kalo gue bisa bikin masalah yang kompleks jadi clear.

Bagian yang paling sulit buat gue adalah bikin proposition yang menginspirasi tim kreatif. Di industri ini, bukan cuma solusi yang benar yang kita cari, tapi juga yang fresh dan menarik.

Referensi membaca untuk teman-teman yang beraspirasi berkarir di bidang komunikasi.
Sumber: Linkedin Julian Cole, 2019.

Untuk teman-teman yang beraspirasi menjadi strategist seperti Yulita, apakah langkah-langkah yang harus dilewati? Apakah ada literatur yang bisa menjadi panduan?

Logika berpikir adalah basic skill yang dibutuhkan Planner. Selain itu, harus suka baca dalam bentuk apapun. Ga melulu harus yang berkaitan dengan advertising atau marketing. Fiksi juga perlu supaya makin kaya referensinya. Beberapa yang sumber tau referensi yang patut dibaca bisa dicek di sini

Follow orang-orang yang berkecimpung di industri ini di LinkedIn. Mereka suka berbagi resource. Mark Ritson, Julian Cole, Mark Pollard, Heather LeFevre.

Di tengah pekerjaan yang menyita waktu, apakah Yulita menerapkan konsep work-life balance? Jika ya, bagaimana? Jika tidak, mengapa?

Iya tentunya. Tired brains won’t be productive. Prinsip gue atur prioritas dan delegasi. Dengan begitu gue bisa mengalokasikan waktu untuk diri sendiri. Beberapa yang biasa gue lakukan adalah olahraga, baca buku, menjalankan hobi, atau sesederhana main dan jajan bareng di sore hari.


*****

Yang saya pelajari (dan dengar dari rekan kerja) dari Yulita adalah bahwa dia tidak pernah takut untuk menjadi dirinya sendiri. Hidup di tengah masyarakat yang memaksa kita menjadi orang lain membuat kita kerap susah berprogres. Menjadi diri sendiri adalah titik awal yang baik, karena memudahkan kita untuk mengukur seberapa jauh kita sudah melangkah tanpa memikirkan apa yang orang lain katakan tentang kita.

Kemudian, terlepas dari banyak ambisinya, Yulita juga tidak takut menerima kegagalan dan kritik. "Kayak gue nggak pernah kalah aja," saat saya mengeluh mengenai insecurity saya ketika gagal dalam sebuah pitching.

Saya yakin ada di antara kalian yang merasa terinspirasi oleh cerita Yulita. Jika ingin tahu lebih banyak mengenai Yulita, kalian bisa baca blog-nya di sini, atau ikuti Yulita di Instagram @yulitalvernia.


*****


To see more on this blog, click banners below






Komentar

Postingan Populer