[Bukan Ulasan] The Incredibles 2: Manajemen Krisis Reputasi dan Pembagian Peran dalam Keluarga


Sumber: slashfilm.com


Pasca film pertamanya yang diluncurkan 2004 lalu (iya, lama betul, ya!), The Incredibles hadir kembali di 2018. Film animasi bertema pahlawan garapan Brad Bird ini hadir kembali dan kembali mengingatkan siapa saja yang pernah menonton film pertamanya. Sebagai sekuel, posisi The Incredibles 2 tentu menimbulkan ekspektasi besar akan plot ceritanya.

Saya menontonnya pada idulfitri lalu, tanggal 15 Juni 2018. Ternyata bioskop ramai juga pada hari raya. Keluarga yang tak pulang kampung dan sudah selesai bersilaturahmi mencari hiburan yang tak lain tak bukan adalah mall. Dalam studio yang ramai dengan anak-anak, film dimulai.

Cerita dimulai pada fragmen yang seakan menjadi pengingat akan pertarungan keluarga pahlawan super dengan musuhnya, Underminer, si perampok ulung. Akibat peristiwa heboh dalam kota tersebut, banyak kekacauan terjadi. Memang kadang sial menjadi orang baik, alih-alih diberi penghargaan atas niat menolong, The Incredibles justru dicap pengacau kota. Karena label tersebut, keberadaan pahlawan super menjadi ilegal. 

Dalam krisis kepercayaan diri sebagai pahlawan super yang namanya dinodai, masalah lain mulai muncul. Perdebatan antara Helen dan Bob mengenai masalah finansial keluarga hingga drama percintaan remaja yang membuat keadaan internal keluarga menjadi tidak stabil.

Tidak lama kemudian, seorang konglomerat telekomunikasi bernama Winston Deavor dari DEVTECH menawarkan untuk memperbaiki reputasi keluarga Bob dan Helen dengan menggalang dukungan publik. Dengan janji mencabut status ilegal pada keberadaan pahlawan super, dirancang sebuah strategi untuk mencapai visi tersebut. Helen ditunjuk sebagai ikon bagi pergerakan ini. Dan Bob, dengan egonya yang ternoda, harus berdamai menjadi stay at home dad, berjibaku dengan urusan domestik. Helen berjuang menunjukkan citra pahlawan super, dan Bob tenggelam dalam drama keluarga.


Terlepas dari plot twist yang hadir di bagian akhir film, ada beberapa hal menarik yang dapat saya tangkap dalam film ini. Struktur cerita yang sederhana membuat pesannya sangat jelas. Saya mencoba melihat diskursusnya dari beberapa perspektif, dan kalian boleh memberitahu saya jika ada yang keliru. Saya sangat menggemari kegiatan diskusi, maka mari kita lakukan! :-)

Manajemen Krisis, Perbaikan Reputasi: MAKE SUPERHERO LEGAL AGAIN

Sumber: screenrant.com

"It takes years to build up a reputation and it takes minutes to destroy it." -Warren Buffet

Melihat situasinya, tentu kita paham bahwa reputasi pahlawan super berada dalam krisis. Apa yang kita sebut krisis? Pada situs Business Dictionary, krisis adalah situasi kritis yang jika tidak ditanggapi dengan baik dan cepat akan menimbulkan bencana. Definisi lain yang menjelaskan mengenai krisis adalah dari Institute for Public Relations. Dalam sebuah artikel oleh W. Timothy Coombs, profesor yang fokus pada riset manajemen krisis dari Texas A&M University, IPR mendefinisikan krisis sebagai ancaman signifikan terhadap operasi atau reputasi yang dapat menimbulkan konsekuensi negatif apabila tidak ditangani dengan baik. 

Krisis sejatinya dapat dicegah dengan rencana dan strategi manajemen krisis yang disusun berdasarkan analisis manajemen. Dalam artikel yang sama, dicantumkan konsep Stealing Thunder, sebuah konsep adaptasi dari ilmu hukum, yang artinya melihat kelemahan argumen sendiri sebelum oposisi menemukannya. 

Namun, dalam kasus pahlawan super ini, mereka kadung berada dalam situasi krisis bahkan sebelum memikirkan bahwa peristiwa tersebut terjadi. Maka dalam kasus ini, diperlukan strategi manajemen krisis beserta perbaikan reputasi. Bagaimana caranya?S
Critical event or point of decision which, if not handled in an appropriate and timely manner (or if not handled at all), may turn into a disaster or catastrophe.

Read more: http://www.businessdictionary.com/definition/crisis.html

Sebuah artikel Forbes menerangkan cara taktis dalam memperbaiki reputasi. Mike Muhney,  CEO VIPOrbit, sebuah relationship management software company, mengungkapkan bahwa kita perlu menyelesaikan krisis reputasi secepat mungkin. Langkah pertama dapat dimulai dengan cara menaksir diri sendiri lewat beberapa pertanyaan: (1) siapa kamu?, (2) apa yang sudah kamu lakukan?, dan (3) bagaimana caranya memperbaikinya? Dibantu oleh Winston Deavor, keluarga pahlawan super menemukan jawabannya. Mereka harus membuktikan bahwa para pahlawan super berniat baik, dan mereka akan benar-benar membantu tanpa menimbulkan kekacauan. 

Sebetulnya ada reportoire dalam analisis dan eksekusi manajemen krisis, tapi mungkin nanti blog ini akan menjadi jurnal. Silakan baca selengkapnya dalam tesis master Helene Stavem kyhn di sini. Saya belajar banyak dari tesis itu. Thank you, Helene, whoever and wherever you are.

Helen ditunjuk sebagai pembuktian pertama. Dalam sebuah organisasi, Helen patut diberi julukan sebagai 'juru bicara'. Tentu tidak terlalu literal, tapi cukup sesuai dengan konteksnya. Serangkaian aksi penumpasan kejahatan oleh Helen (Elastigirl), termasuk menyelamatkan duta besar dari pembajakan pesawat, menjadi pembuktian para pahlawan super. Pesannya adalah bahwa mereka bertanggungjawab secara konsisten atas kekacauan yang terjadi, dan mereka ingin kembali direkognisi sebagai pahlawan super yang baik.  

"It's about being quick and being confident and taking responsibility," papar Dimitrios Tsivrikos, consumer and business psychologist dari University College London kepada BBC. Keberhasilan Helen menjadi perbincangan publik. Helen mewakili suara para pahlawan super berbicara di depan media dan meraih kembali sentimen positif publik. Masyarakat kembali percaya, walau belum merasa perlu bergantung, kepada pahlawan super. Begitulah publik dan humas, hubungannya adalah investasi, bukan semata-mata dihitung melalui ROI berupa angka media value. Sekali kamu dipercaya, orang lain akan membelamu nantinya. mungkin tidak sekarang, namun kemungkinan besar nanti.

Misi berhasil. Jargon 'Make Superhero Legal Again' yang diusung DEVTECH berhasil diwujudkan. Semua kembali percaya. Pemerintah kembali merniat merekognisi para pahlawan super. Setelah itu ada plot twist yang tidak masuk dalam konteks ini, jadi kamu harus tonton sendiri filmnya ya.

Peran Perempuan dan Laki-Laki dalam Keluarga


Sumber: gizmodo.com

Ternyata ada diskursus lain yang saya tangkap dari film ini. Ketika Helen (Elastigirl) meyetujui untuk menjadi garda depan pemulihan nama baik pahlawan super, ada Bob Parr (Mr. Incredible) yang dihadapkan dengan sederet tantangan baru, yakni tugas domestik. 

Banyak konflik dan drama keluarga yang muncul. Anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa mulai jatuh cinta dan susah diatur. Jack-Jack, anaknya yang paling kecil, sungguh sebuah kerepotan besar yang lain. Namun kepercayaan Helen pada Bob menguatkannya. Perlahan Bob mencari jalan keluar.

Keluarga modern dipotret dengan sangat apik di sini. Fenomena ibu bekerja dan ayah yang tinggal di rumah sangat jelas kontras perannya. Ternyata, hal tersebut sangat lumrah terjadi di Amerika Serikat. Sejak tahun 1980, satu dari sepuluh keluarga dikepalai secara finansial oleh perempuan. Angkanya nampak terus meningkat. Pada 2015, Departemen Tenaga Kerja AS mencatat 25,1 juta ibu bekerja dengan anak berumur dibawah 18 tahun, dan proporsi yang rata dari berbagai latar belakang dan ras. Angka tersebut meningkat sepuluh persen dari satu dekade lalu. Mayoritas dari mereka bekerja penuh waktu. 

Walau sudah menjadi hal yang lumrah, ternyata sentimen publik belum berpihak pada ibu bekerja. Menarik rentang waktu ke 2013, PEW Research memaparkan bahwa hanya 12% yang mendukung kecenderungan ibu untuk bekerja penuh waktu. Yang moderat masuk dalam prosentase paling banyak, sebesar 47% dengan nosi bahwa perempuan boleh bekerja, namun sebaiknya paruh waktu. Juga terdapat kalangan yang tidak setuju bahwa ibu boleh bekerja, atau situasi ideal bagi ibu seharusnya tidak bekerja sama sekali. Mereka tergabung dalam sisa 33% dari keseluruhan responden. Narasi yang ditunjukkan dalam survey ini adalah apakah kondisi ibu bekerja akan berpengaruh pada ikatan ibu dan anak. Namun, apakah benar?

Sebuah survey oleh Harvard Business School pada 2012 membuktikan bahwa peran ibu dan ayah yang nontradisional, khususnya ibu bekerja, justru memberikan dampak positif pada perkembangan anak. Terlihat bahwa peran dua orang tua yang bekerja membangun persepsi panutan dalam benak anak, terlepas dari jenis pekerjaan dan berapa lama waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan tersebut. Survey tersebut dilakukan di 24 negara dan melibatkan kurang lebih 31.000 responden.

Lalu, bagaimana dengan fenomena ayah yang tinggal di rumah?

Tugas domestik yang digambarkan dalam The Incredibles 2 adalah mengurus pekerjaan rumah anak-anak, menyiapkan sarapan, mempersiapkan sekolah, menimang bayi, hingga menunjukkan kepedulian terhadap urusan percintaan anak perempuannya.

Sumber: gameup24.wordpress.com
Tanpa membicarakan pengaruh antara ibu bekerja terhadap partisipasi tenaga kerja laki-laki, ternyata ayah yang tinggal di rumah menjadi fenomena yang signifikan di AS dan menurunkan angka ayah bekerja dari 78,9% ke 70,2% pada 2014. 

Terjadinya pergeseran peran ibu dan ayah dalam keluarga tentu bukan tanpa alasan. Alasan utama yang ditemukan adalah finansial. Bukan mengenai siapa dengan gaji lebih besar, melainkan pos dalam pengeluaran keluarga yang menghadapkan keluarga pada beberapa pilihan yakni, kedua orang tua bekerja atau salah satu tetap di rumah menjaga anak. Keputusan ayah untuk bekerja di rumah terangkum dalam sebuah paper karya Joyce J. Lee dan Shawna J. Lee. Dalam penelitian berjudul Caring is Masculine: Stay-at-Home Fathers and Masculine Identity (2016), ayah memutuskan untuk menetap di rumah karena mahalnya biaya daycare, kehilangan pekerjaan, bosan atau lelah dengan pekerjaan, relokasi pekerjaan pasangan. Keputusan tersebut didukung oleh kesepakatan bersama bahwa setidaknya satu dari orang tua harus menetap dan menjaga anaknya di rumah.

Sumber: www.seventeen.com

Konsep maskulin juga mendapat wacana alternatif, dimana bertanggung jawab terhadap keluarga, misalnya menenagkan anak saat menangis, menjadi identitas maskulin yang baru bagi laki-laki. Konsep maskulinitas menjadi tidak lagi terbatas pada peran tradisional dalam keluarga.

Tren ini nampaknya menjadi bukti bahwa ekspektasi publik terhadap laki-laki dengan sifat maskulinnya sudah tertanam sejak entah kapan, mungkin tidak lagi relevan. Mengutip disertasi Joy M. Scott tentang keberlangsungan tren ayah yang tinggal di rumah, di AS, ekspektasi terhadap laki-laki sungguh jelas sejak Revolusi Amerika, dengan tugasnya sebagai pencari nafkah bersifat rasional dan poros sebuah keluarga akan bergantung. Kini, persepsi maskulin menjadi lebih cair dan dapat diadaptasi tanpa batas ruang dan waktu, lepas dari sekat domestik dan profesional. Saya semakin yakin bahwa pergeseran peran ini, terlepas apakah hanya kecenderungan atau justru akan berkelanjutan, nyata adanya.

Bagaimana menurut kalian?

Komentar

Postingan Populer