“I don’t care if you’re black, white, straight, bisexual, gay, lesbian, short, tall, fat, skinny, rich or poor. If you’re nice to me, I’ll be nice to you. Simple as that.” –Eminem
Ya, manusia. Saya gagal paham waktu dalam sebuah acara buka
puasa bersama anak yatim, anak yatim diundang berbuka puasa bersama karena
mereka anak yatim. Ya, karena mereka anak yatim. Dalam pikiran panitia acara
(mungkin) anak yatim adalah seorang yang memang harus diajak berbuka puasa
karena mereka anak yatim. Karena mereka tidak memiliki ayah, karena mereka
berasal dari panti asuhan, atau karena bulan puasa adalah bulan penuh berkah.
Hei, tunggu. Bulan penuh berkah? Lalu kita berharap berkah karena mengajak
mereka, anak yatim, berbuka puasa? Coba dicek kembali niatnya.
Sebegitu egoiskah kita menggunakan anak yatim sebagai medium
berkah? Well, ya, Tuhan menjanjikan pahala dan surga bagi yang beramal pada
bulan Ramadhan. Tapi... Kenapa acara berbuka puasa bersama anak yatim harus
mengundang mereka semata-mata karena mereka anak yatim?
Tidak bisakah kita, atau panitia acara, mengajak mereka
berbuka puasa bersama karena mereka sama-sama
manusia dan sama-sama berpuasa? Saya gagal paham keegoisan manusia yang
satu ini. Bukankah ‘memanusiakan manusia’ ramai dibicarakan di luar sana?
Bukankah kesetaraan menjadi wacana yang terus digaungkan di kota ini?
Argumen saya bukan masalah niat yang tulus ikhlas dan
kawan-kawannya. Argumen saya lebih terfokus pada anak yatim yang seakan-akan
dijadikan medium meminta berkah, padahal mereka manusia juga.
Saya tidak bermasalah dengan acara berbuka puasa bersama
anak yatim. Sangat baik, karena ada unsur berkumpul, bersekutu, dan kebersamaan
di dalamnya. Tapi kenapa anak yatim harus menjadi frasa yang marak hanya di
bulan Ramadhan? Kenapa anak yatim harus diposisikan sebagai orang yang butuh
dikasihani?
Lihat di infotainment dan tayangan gossip lainnya. Saya
bermasalah dengan selebriti yang ketika bulan Ramadhan tiba berbondong-bondong
ke panti asuhan. Lalu meminta doa ini itu ini itu kepada mereka. Hanya karena
itu?
Mungkin bagi sebagian orang akan berkomentar ‘ngapain sih
ngurusin urusan orang’, tapi saya sedih jika anak yatim menjadi wadah mencari
berkah. Ada unsur kemanusiaan yang hilang di sini. Ada unsur meletakkan satu
golongan dalam tangga stratifikasi.
Jika kita mengundang mereka untuk berbuka puasa bersama
karena kita ingin berkumpul, saya rasa
akan lebih baik. Jika kita tidak mengundang mereka berbuka puasa bersama karena
mereka anak yatim, saya rasa akan lebih baik. Jika kita sempat berpikir seperti
Eminem, saya rasa akan lebih baik. Intinya adalah, menurut saya, anak yatim
tidak boleh dijadikan seolah mereka tidak berdaya dan harus dikasihani. Sombong
sekali kita jika ada setitik bayangan itu di dalam kepala. Bahwa kesetaraan
tidak berhenti pada masalah LGBT dan wanita.
Kemudian bulan Ramadhan berakhir. Kemudia anak yatim hanya
ada ketika selebriti ulang tahun. Lalu mereka hilang jika tidak ada
momentum-momentum media.
rezeki anak yatim tetap ada dari mana pun, baik dari orang yang terang-terangan memberi dengan membawa media sebagai penyemarak dan mengusung tema kebersamaan, maupun yang memberi mereka karena berharap bisa berbagi rezeki tanpa balasan apapun. setauku pun, rezeki akan banyak jika berbagi, entah dengan siapa saja. kalau dalam kasus ini, anak yatim diutamakan karena mereka adalah orang yang lebih membutuhkan.
BalasHapus