Human Rights: The World and its Diversity

Masih ingat dengan tulisan saya yang bertema tentang syukur beberapa minggu lalu? Kali ini saya masih membicarakan hal yang sama dengan sebelumnya, namun dengan hal yang berbeda. Kali ini saya akan membicarakan tentang betapa bersyukurnya saya dikelilingi oleh dunia yang berbeda, beragam, dan (mudah-mudahan) tidak saling memaksa.



Hari Senin lalu, tanggal 3 Juni 2013, seperti biasa saya kuliah Politik Internasional. Setelah kuliah selesai, dosen saya sedikit memberikan wejangan tentang disiplin dan tidak tahu bagaimana kami akhirnya saling bercerita. Di satu cerita kami berhenti, membicarakan tentang bagaimana kita harusnya menanggapi keberagaman. Topik ini ditarik dari sebuah tema pada hari itu, yakni Hak Asasi Manusia. Konsep HAM yang dianggap universal pada saat ini, menurut dosen tersebut, merupakan sebuah konsep yang dipaksakan. Kenapa dipaksakan? Karena konsep tersebut dibuat dan dikonstruksikan oleh satu perspektif saja, yaitu menurut perspektif barat. Walaupun pada akhirnya konsep ini disebut universal dan diakui/disetujui oleh negara-negara di dunia, tetap saja yang menjadi pelopor (atau yang menjadi acuan) adalah negara demokrasi terbesar di dunia, Amerika Serikat.


Masih menurut dosen saya, dosen tersebut berkata bahwa secara normatif (dengan awalan ‘akan sangat baik’) bila konsep Hak Asasi Manusia tidak hanya mengacu pada satu perspektif saja. Seharusnya, konsep HAM harus menjadi sebuah pemersatu seluruhperspektif; barat, timur, islam, kristiani, dan lain-lain. Kenapa? Karena beliau berpendapat bahwa tantangan yang cukup besar bagi konsep HAM yang ada sekarang adalah adanya ketimpangan antar perspektif, sehingga tidak ada yang bisa menjadi acuan tunggal dan role model pada penerapan konsep universal yang diakui saat ini. Lebih jauh lagi, konsep HAM yang ada sekarang belum bisa dianggap universal karena tidak ada konsensus, thus it is not universal, it is forced; dipaksakan, oleh satu perspektif saja.

Salah satu bukti nyata dan sederhana adalah pendapat tentang wanita mana yang dianggap bebas; kontestan Miss Universe yang diharuskan berbikini atau wanita muslim yang bercadar. Kontestan Miss Universe, yang diidentikkan dengan ‘barat’, dianggap terkekang dan tidak bebas karena masih mengikuti standar cantik yang sering dibilang universal, padahal tidak selalu universal. Wanita berbikini, berbadan langsing, berambut indah, dan bermahkota dianggap cantik, paling cantik sedunia. Wanita bercadar, dianggap terkekang karena tidak bebas bergerak, mengekspresikan apa yang mereka rasakan. Wanita menurut kedua perspektif tersebut saling berdebat dan menuding ketidakbebasan. Aktornya, wanita-wanita yang menjadi teks perdebatan saling meng-klaim bahwa diri mereka tidak merasa terkekang, merasa bebas, merasa tidak dibatasi oleh standar atau pakaian yang mereka kenakan.




Perebatan ini yang seringkali dianggap sebagai kekurangan standar universal HAM saat ini. Konsep tersebut, tidak mengakomodir seluruh karakteristik peradaban, dan tidak bisa mengakomodir jawaban terbaik bagi perdebatan yang ada. Masih dianggap terdapat ketimpangan dan keberpihakan kepada salah satunya. Well, yes, seluruh pengetahuan dan kebijakan pasti selalu berpihak pada siapa yang memiliki power, seperti hubungan knowledge dan power milik Michel Focault. Namun, menurut dosen saya, secara normatif, seharusnya konsep HAM yang ada mengakomodir seluruh peradaban dan bersifat adaptif. Tidak ada pandangan yang memarginalisasi pandangan yang lain. Tidak ada yang homogen atau berusaha menyeragamkan. Jika konsep yang ada berubah menjadi seperti ini, dunia (tetap) akan terlihat seragam karena hanya ada satu kotab sucinya, tapi keanekaragaman di dalamnya tetap terawat, tetap eksis, dan dipertahankan.

Dosen saya menggunakan perspektif postmodernisme/poststrukturalisme dalam pernyataan analisanya. Dalam analisanya, memiliki sebuah konsep yang diinstitsikan sangat perlu, sehingga ada acuan yang dapat dijadikan dasar utama penyelenggaraan HAM di dunia. Namun, konsep dasar yang diinstitusikan ini tidak boleh mengalienasi satu perspektif yang dimiliki sebuah peradaban. Konsep ini harus mengakomodir seluruh perdebatan yang mungkin saja terjadi di kemudian hari. Seluruh kearifan lokal tidak boleh dijadikan seragam menurut satu standar universal, tapi dirawat keberagamannya. Jika ide ini diwujudkan, seluruh dunia akan memiliki standar yang sama, namun keberagaman local wisdom yang ada tidak hilang termakan apa yang kita sebut sebagai globalisasi. Lebih jauh lagi, tidak ada lagi yang merasa dialienasi dan dijadikan bagian subordinat dari komunitas. Tidak ada pula yang berusaha mencari legitimasi identitas dalam komunitasnya (atau komunitas internasional) dengan cara-cara teror seperti Al-Qaeda dan lainnya. Dengan diakuinya seluruh karakteristik peradaban melalui konsep HAM yang benar-benar universal, damai bukan kondisi yang mustahil.

pic: google.com, femaura.com, missuniverse.com, contactmusic.com

Komentar

Postingan Populer