Rumah Petak dan Bubur Ayam: Tentang Syukur

Sebelum memulai curhatan saya kali ini, saya mau bertanya, apa yang membuat kamu merasa damai? Ehm, bukan damai. Lebih kepada merasa aman, merasa tenang, merasa hangat? Lalu di mana kamu bisa mendapat perasaan itu? Di candi Borobudur pada saar waisak seperti yang sedang ramai dibicarakan? Atau, di India –seperti latar lokasi di film Eat, Pray, Love? Well, semua punya cara sendiri untuk bisa merasakan perasaan itu.




Hari ini hari Minggu. Saya terbangun jam 10 pagi, dan orang-orang di rumah sudah tidak kelihatan. Mama cuma menunggalkan bubur ayam untuk sarapan pagi. Lalu waktu berjalan cepat hingga akhirnya siang hari, jam 12.37, waktu saya mulai mengetik tulisan ini. Padahal, awalnya mau membuat tugas review mingguan. Hmm. Hari Minggu adalah hari istirahat untuk saya, mungkin semua orang. Hari Minggu di rumah saya merupakan hari paling tenang, tempat paling tenang. Tapi sepi. Saat saya menulis tulisan yang sedang kalian baca saat ini, cuma ada kokok ayam dan samar suara motor yang lewat di depan rumah. Ya, saya sangat tenang. Situasi ini persis seperti saat saya kecil, tidur siang di rumah kakek (di kampong yang sama), saat mama masih membantu usaha kakek. Tenang. Tapi sepi. Saya tidak merasa hangat setiap hari Minggu.
Pernah melihat rumah kecil yang bahkan tak punya lahan untuk menanam tanaman pekarangan? Yang ada di pinggir jalan, menempel dengan rumah lainnya yang lebih besar. Rumah itu kecil, sedikit orang bilang memprihatinkan. Well, iya jika kita lihat dengan perspektif sosial yang selalu punya hirarki dalam kondisi apapun. Rumah besar dibilang sejahtera, rumah kecil dibilang memperihatinkan. Human. Tapi saya (dan mungkin beberapa darri kalian) punya perspektif yang berbeda. Saya melihat rumah kecil ini begitu hangat. Hanya punya beberapa ruangan, lalu disekat supaya memberikan efek lebih banyak ruang. Bukan, bukan itu, bukan berapa banyak sekat yang mereka gunakan. Saya melihat yang tinggal di dalam sana punya kedekatan yang sangat intim. Mereka tidak terlihat sangat bahagia, tapi juga terlihat sangat menikmati (atau berusaha menikmati) hidup di dalam rumah kecil.



Mereka bertengkar, lalu tertawa. Semua dapat terlihat dengan jelas karena rumah mereka kecil. Mereka bisa menjaga satu sama lain di dalamnya. Bukan, bukan karena rumah mereka kecil sehingga gerak sehalus mungkin dapat terlihat. Bukan karena mereka miskin. Dan bukan karena saya merasa punya rumah yang lebih besar. Bukan itu. Mereka terlihat hangat karena mereka berusaha menikmati itu. Mereka terlihat intim karena mereka tahu hanya itu yang mereka miliki. Kalau kalian beragama, kalian biasa menyebutnya bersyukur. Di rumah yang sempit, di tengah anggota rumah yang banyak, mereka berusaha menikmati hidup. Tidak memaksa Tuhan atau semesta untuk memberi makanan lebih banyak atau tanah yang lebih luas, atau tambahan lantai di bagian atas. Ya, nikmati saja.





Rumah saya memang terlihat lebih besar dari rumah yang kecil itu. Tapi sepertinya rasa ingin menikmati hidup saya ada jauh di bawah mereka. Seperti pendidikan Indonesia dan Singapura, bertetangga tapi jauh dalam daftar dunia. Mereka mendengar kokok ayam yang sama, suara knalpot motor yang sama, tapi mereka tidak sendiri. Ketika bangun, ada banyak yang mereka lihat di sampingnya; ibu, kakak, adik, dan cucian kotor. Lantas mereka bangun, ibu memasak tempe goreng, ayah merokok di luar, kakak mengepel lantai, adik mengotori lantai. Lalu ini saya bilang sebagai hidup yang hangat dan sinergis. Ketika saya bangun, ada bubur ayam. Saya makan sendiri, berniat mengerjakan review mingguan, dan akhirnya menulis ini untuk kalian.


*Gambar: Google.com (harianorbit.com, assyathori.blogspot.com, ymonster.com)

Komentar

Postingan Populer