What it takes to be a better one



Seberapa sadar sih kalian sama yang namanya acceptance terhadap orang lain? Saya baru saja sadar bahwa acceptance memang benar-benar penting dalam kehidupan sosial. Sebelum saya mulai sok sok tau tentang acceptance ini, mau cerita sedikit dulu boleh ya, hehehe.

Jadi ceritanya kemarin ada mahasiswa psikologi di kampus saya yang juga merupakan Project Officer UIN Fashion Fair 2012. Dia adalah @thataljundiah, saya biasa panggil dia kak Tata. Dia butuh klien untuk konseling dan saya dengan percaya diri mengiyakan tawarannya untuk jadi klien. Pada awal sesi konseling, saya diminta untuk menceritakan apa masalah saya. Saya menceritakan apa yang selama ini ada di pikiran saya.

Mungkin sudah banyak yang baca di blog saya bahwa saya ini adalah orang yang manja dan banyak mengeluh. Lucky me, saya mendapatkan wadah berkeluh kesah yang tepat di sini hahaha. Jadi ceritanya saya cerita tentang tidak suportifnya lingkungan sekitar saya. Saya merasa sering dijatuhkan, saya sering merasa tidak didukung dalam setiap pemenuhan target yang sudah saya petakan jauh-jauh hari. Ehm, tapi gak perlu kan saya ceritakan di sini semua? Hahaha nanti malah malu-maluin diri sendiri.

Sekali lagi lucky me, saya bertemu dengan konselor yang asik, jadi saya bisa menyerap ilmunya dengan mudah dan cepat. Jadi, apa aja sih yang disarankan oleh kak tata terkait masalah yang sara jadikan bahan curhat ini? Saya merangkum sedikit daaaan Here they are:

• Perlu adanya acceptance atau penerimaan kita dalam setiap individu, kelompok, dan situasi yang ada di sekitar kita. Jangan selalu menjadikan diri sendiri sebagai poros dalam hidup. Dalam konseling tersebut saya baru sadar bahwa selama ini saya selalu ‘memaksa’ orang lain untuk mengikuti standar lingkungan sosial yang saya terapkan. Intinya, saya memaksa orang untuk menjadi seragam. Padahal kita dilahirkan dalam keadaan yang beragam dan sangat plural, sehingga tidak bisa disamakan satu individu dengan individu lainnya. Percuma saya menieriakkan untuk menjunjung tinggi pluralism padahal ternyata saya memaksa orang lain untuk menjadi sama. Lebih dari itu, semua orang pasti ingi diterima oleh lingkungannya. Tapi kalau kita egois ingin diterima tapi tidak bisa menerima, hasilnya nihil. Egois.

• Yang kedua adalah kelanjutan dari lack of acceptance. Berangkat dari sini, saya diberi saran untuk menyesuaikan diri dengan setiap lingkungan yang berbeda. Yang paling saya ingat adalah, kecakapan sosial akan sangat baik jika dilengkapi dengan kecakapan penyesuaian diri dan sosialisasi di lingkungan yang berbeda. Jadi, untuk menjawab masalah itu adalah penyesuaian diri saya yang harus bisa mengerti, mengakui, dan menerima bahwa orang-orang di lingkungan saya berasal dari latar belakang keluarga, pendidikan, lingkungan yang berbeda. Masuklah ke dalam kehidupan mereka dan amati apa yang menajdi kebiasaan. Kemudian, mulai berinteraksi secara aktif sesuai dengan cara mereka berinteraksi. Jika ada yang mencibir atau memberikan feedback negatif, biarkan saja dulu. Jika sudah berhasil melakukan penerimaan dan penyesuaian, baru perkenalkan diri secara utuh bahwa kalian tidak sama dan juga mau dihargai sebagai individu yang berbeda. Ingat bahwa untuk menerima dan mengakui tidak harus merubah kepribadian. Coba saja dulu sembunyikan hal-hal yang berbeda dalam diri kita, kemudian show them secara perlahan.





Dua poin di atas adalah sebagian kecil dari sesi konseling saya dengan kak tata. Keseluruhan konselingnya menyenangkan karena saya tidak merasa digurui. Inti dari saran-sarannya juga disampaikan dengan sangat friendly, tidak judgemental. Intinya adalah, jangan lupa diri. No matter how high your willingness to achieve something, selalu ingat bahwa tidak semua orang bisa menerima hal tersebut dengan mudah. Kunci untuk menjadi pribadi yang diterima adalah mengakui dan menerima orang lain. Jauh sebelum itu, kita harus punya kesadaran bahwa kita dilahirkan tidak dalam keadaan yang sama. Kita punya latar belakang, tujuan hidup, mimpi, cita-cita yang berbrda dan beragam satu sama lain. Jangan lupakan faktor kebiasaan dan budaya dalam berinteraksi. Tidak semua budaya dan kebiasaan memiliki cara yang halus dalam menunjukkan apresiasi. Bisa saja kita dijadikan bahan bercandaan, bahan tertawaan, kemudian kita memiliih sakit hati. Padahal mereka sama sekali tidak bertujuan untuk menyakiti, melainkan untuk menunjukkan apresiasinya sesuai dengan kebiasaan dan budaya mereka. Jangan sakit hati dulu, kenali mereka agak tau bagaimana cara mereka berinteraksi dan mengapresiasi sesuatu.

Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua yang punya masalah dengan keterpurukan kenyamanan karena diperlakukan tidak baik oleh seseorang. Belum tentu tujuannya untuk menyakiti. Selalu berpikir positif ya 



Komentar

Postingan Populer