SENIN

Ketika semua semangat sudah mulai luntur, dan Senin terakhir di Bulan Oktober menjadi senin yang tak punya hak dinamika. Tak berotasi, tak ubahnya sebuah matahari yang kotak dan segitiga. Senin ini mendung, dengan alunan rintik gubahan sang pencipta yang diiringi orkestra knalpot.

Panas Jakarta hari ini memang tak terkalahkan, tapi hawa panas Ciputat, Tangerang Selatan akan menjadi pemenang pertama apabila diadakan olimpiade. Seperti biasa, saya melewati jalan yang ramai oleh mobil dan manusia. Dari berbagai macam latar belakang, ras, dan dialek kedaerahan. Semua terasa serasi. Saya terbiasa dengan sesaknya bis berwarna kuning yang biasa saya tumpangi. Karena hari Senin, lalulintas lebih padat dari biasanya. Semua berangkat dengan ekspektasi yang sama : sampai di tujuan tepat waktu.

Dalam diam, saya memikirkan bagaimana kelanjutan dunia saya. Terbayang banyak sekali bibir-bibir yang bergumam gemuruh dalam benak saya. Saya bingung. Saat memutuskan untuk berkuliah di jurusan saat ini, saya amat yakin dengan pilihan saya, masa depan akademis, dan masa depan di kampus berikutnya, kampus di mana saya akan belajar hidup yang sebenarnya. Saat diterima di jurusan impian, senang bukan kepalang. Saya ingin mencari sebanyak mungkin ilmu. Saya ingin menjadi maahsiswa yang aktif di berbagai bidang. Saya punya target yang seakan semua menjadi rencana pasti.

Senja kesekian saya melewati jalan yang sama, semangat saya mulai goyah. Saya mulai menyadari, saya terlalu naïf. Saya mulai mengeluh, untuk apa berada di sini, kenapa saya tidak dilahirkan dengan kondisi yang lebih beruntung. Memiliki kendaraan mewah, uang yang berlimpah, dan keluarga yang selalu dipayungi awan cerah. Simfoni keluh kesah terus berlangsung hingga Senin terakhir dalam Bulan Oktober. Senin berjalan biasa, berjalan seperti hari datar lainnya. Senja di Senin yang mendung, saya pulang dengan langkah gontai tak tahu kenapa, dengan tetap memikirkan bagaimana caranya mengembalikan semangat yang dulu tumbuh kembang dalam gumpalan sel di kepala saya.

Malu rasanya berbagi tentang hal remeh-temeh seperti ini. Tuhan berperan sebagai konduktor sempurna dalam resital gubahan derai hujan - Nya Senin ini. Saya tersenyum melihat sekelompok orang yang berlari mengejar bis kuning dengan label koantas bima. Saya tahu bagaimana perasaan mereka. Saya punya rasa yang sama. Saya tersenyum lagi untuk musisi pinggir jalan. Saya bisa rasakan dingin butir air yang menetes. Entah, saya terinspirasi oleh mereka. Ya, karena kami berada di tempat yang sama, dalam kondisi yang sama, dingin dan terguyur derasnya ingatan masa lalu.
Mencoba untuk sok dewasa, saya mulai bermonolog dalam hati, “Berpikir positif bisa ‘kan ya?”
“Bisa kok asal konsisten.”
“Konsisten?”
“Ya, pikiran positif gak dating tiba-tiba loh, perlu usaha. Modalnya, senyum. Jangan banyak mikir apa yang orang pikirin, stress sendiri nanti.”

Kurang lebih begitu monolog antara bagian otak saya yang satu dengan bagian otak yang lainnya. Saya berani menarik selembar benang kesimpulan, bahwa saya hanya perlu banyak berdialog dengan diri sendiri. Diri saya menentukan apa yang akan saya dapat. Semangat saya datang, namun masih timbul tenggelam.

Saya teringat akan kompetisi. Saya Mempertanyakan mental beton yang dulu saya miliki, dan sekarang tergerus asap hitam kota kapital yang harusnya tidak lebih kuat dari semangat saya. Saya ingat rasanya berjuang. Saya ingat rasanya tidak punya teman karena saya bukan manusia bermandikan uang. Saya ingat rasanya mencambuk diri sendiri untuk menjadi sesuatu, walaupun hal ini juga masih dan akan terus dalam proses. Saya ingat ketika fasilitas yang harusnya saya dapat hilang karena masalah birokrasi kotor kelas teri. Bayangan masa lalu tak berhenti begitu saja. Saya ingat senyum dan rangkaian kata sinis orang di sekitar saya. Mereka tak percaya. Saya bisa lewati fase pembelajaran tersebut tanpa hambatan sedikitpun, sedikit mulai saya buktikan bahwa saya bisa.

Saya ingin berteriak dalam hujan, merayakan semangat eskapisme saya yang telah hidup kembali. Saya tidak ingin hidup saya hanya menjadi siklus jargon kaum pesimis korban kapitalisme, bahwa hidup seperti roda yang dipercaya orang selama ini, kadang di atas kadang di bawah. Saya ingin hidup saya menjadi perjalanan ke atas gunung. Walaupun jalan berkelok terjal, saya punya tujuan : membawa diri saya secara multidimensional ke puncak. Tidak dengan komentar negatif nan sarkastik orang lain, tapi bersama jiwa-jiwa murah hati yang menjadi alas kaki dan oase eskapis dalam perjalanan saya.

Senja tak lagi milik Senin di akhir Oktober ini, sang November telah mendesak masuk dan mencari tempat di hati setiap ciptaan untuk memulai babak baru di pra-akhir tahun yang dinamis ini. Gema panggilan untuk berkomunikasi dengan Dia telah marak terdengar, dan lampu khas metropolitan si kapital telah menggemerlapkan malam mendung. Hujan bersisa harumnya, harum rumput dan aroma tanah basah. Harmoni sempurna, mengakhiri Oktober.

Komentar

Postingan Populer