Tertawa dan Menertawakan

Beberapa tahun lalu, kami sedang berada pada situasi kumpul keluarga. Pertemuan kasual membahas hal remeh temeh tentang apapun. 

Seseorang dalam usia saya berinisiatif mengambil sebuah bola dan memainkannya bersama yang lain. Saya, seorang laki-laki yang tidak suka permainan bola, terpaksa harus ikut. Sekarang saya bertanya pada diri sendiri, kenapa saya harus merasa terpaksa kemudian ikut bermain padahal saya memiliki pilihan untuk menolak?

Hari ini, saya bertanya kembali.

Saya memang tidak perlu merasa terpaksa. Namun ada satu dan beberapa hal yang membuat saya belajar dari hal tersebut. Saya kemudian menjadi tahu bahwa saya tidak suka olahraga (luar ruang). Saya tidak suka sepak bola. Titik. Tentu tidak sesederhana itu.

Saya menemukan banyak kesukaan saya yang lain. Saya yang tidak suka sepak bola, memang tidak seperti yang lain. Saya lebih memilih membaca buku atau majalah yang kala itu saya curi dari lemari tante. Tidak ada justifikasi siapa lebih hebat dari siapa. Tapi memastikan bahwa setiap detik dalam nafas ada pilihan. Saya awalnya merasa inferior karena tidak suka (dan tidak bisa) bermain sepak bola. Tapi saya punya hal lain yang bisa saya lakukan. Pilihan tersebut ada pada mereka; sepak bola atau membaca buku. Tidak masalah jika mereka tidak suka membaca buku dan lebih memilih bermain dengan si kulit bundar.

Pada dekade ini, orang meneriakkan satu kata, passion. Ya, ini juga pilihan. Tidak ada passion yang lebih hebat dari passion yang lain. Keberminatan seseorang tidak selalu seragam. 

Kejadian setelah dihadapkan dengan pilihan bermain sepak bola atau membaca buku adalah tertawa beberapa saudara yang sedang berkumpul. Ya, mereka menertawai saya karena tidak bisa bermain sepak bola! Mereka menertawai pilihan saya untuk tidak bisa bermain sepak bola!

Lalu ketika saya membaca buku, komik, dan majalah, tidak ada pula yang merasa saya melakukan hal yang benar. Pilihan lain muncul, yakni untuk merasa serba salah. Pertanyaan lain, saat ini, kemudian muncul: kenapa harus merasa serba salah? Bukankah saya yang memilih untuk membaca buku? Kenapa harus bergantung kepada seseorang untuk berkata bahwa saya melakukan hal yang benar? Bukankah suara dan pilihan saya, pada akhirnya yang akan menentukan nasib?

Kompetisi antar passion, keberminatan semacam ini membuat saya menjadi 'sakit'. Saya selalu berusaha mencari suara orang lain untuk mendukung apa yang saya lakukan. Pada waktu yang bersamaan, seharusnya saya justru mendukung suara dan pilihan sendiri. 

Oh, betapa tulisan kompetisi semacam ini membuat saya ingin tertawa hingga ditertawai orang lain.

Komentar

  1. Hey darling, sorry nih ya gue buka blog lo! Gak lebih dari sekedar rasa iseng aja si..
    Buat gue gak ada yang salah sama pilihan lo, itu hak dong dan memang passion lo disitu, cuma ya memang kita harus sedikit pengertian sm keluarga yang memang turun temurun sudah terbentuk adat nya seperti itu. Kita yang muda menghargai aja, walaupun kadang sedikit pengertian pun gak kita dapat dari mereka, lo tau lah kalo dibilang rasis ya itu mereka dan sangat konservatif, gue sering banget selisih paham sm keluarga gue, dan beberapa kali gue kasih pengertian . lambat laun gue yakin mereka akan mengerti sm pilihan kita.. Semangat terus yah :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih :-)

      Selalu ada kontra setelah pilihan diambil. Santai aja hahaha

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer