Penis, Maskulinitas, dan Eye Shadow.

Rutinitas saya selama kuliah adalah (sudah pasti) belajar, kemudian makan siang, sesekali berdiskusi (sambil bercanda) bersama banyak orang. Hmm, biasanya sih @aulintanw @bobmahr @elubule @LenyLady @mirasonia @monnafathias @ridaqinvi @ridwanbar @trinandarama dan idham cholid. Lelalh berdiskusi dan bercanda, kami pulang (dengan perasaan yang mudah-mudahan bahagia).

Tapi tidak hanya itu saja. Rutinitas saya setiap hari adalah mendongakkan kepala tinggi-tinggi sembari menarik nafas untuk menambah kepercayaan diri. Bukan, bukan karena saya sombong. Bukan karena saya congkak. Lalu? Yes, karena orang-orang melihat saya seperti baru melihat alien atau makhluk luar angkasa yang mereka pikir keberadaannya cuma ada di film saintifik. Ya, ini adalah manifestasi dari kutipan ‘life is a fashion show, and world is the runway’; saya seperti fashion show di depan para fashion buyer, dan mereka membenci koleksi saya. Ini bukan masalah kepercayaan diri, bukan juga masalah mereka for atau against me. Ini adalah masalah konstruksi sosial yang berlebihan, jadi fanatik dan somewhat judgemental. Saya tidak punya masalah dengan post-effect seperti judgmental dan kawan-kawannya. Saya bermasalah dengan akarnya; konstruksi sosial. Loh, hubungannya apa ya?






Oke. Let’s begin. Jadi, saya adalah seorang laki-laki. Ya, saya memiliki penis (jangan Tanya ukurannya). Pertumbuhan rambut di bagian tubuh tertentu berjalan seperti siklus biologis laki-laki pada umumnya. Jika berbicara tentang gender, saya lebih suka tidak mengklasifikasikan saya dalam gender apapun, baik feminin atau maskulin. Queer? Mungkin. Tapi mungkin beberapa di antara kalian yakin bahwa saya ada di kategori feminin. Silakan nilai sendiri. Mungkin karena saya menggunakan eye shadow gelap atau eye liner dan mascara setiap hari, atau karena saya berperilaku feminin dalam keseharian, atau karena saya sering menggunakan aksesori yang jarang digunakan laki-laki di kampus saya; scarf, collar, big metal ring, or whatever you can imagine. Nah, di sini masalahnya. Banyak sekali yang secara instan melabeli saya dengan panggilan banci atau bencong. Hmm, sah-sah saja sih, sebenarnya. Tapi to me personally, it’s way too harsh. Lha saya jarang sekali melabeli (bukan tidak pernah, lho) orang lain berdasarkan penampilan. Jika saya menjustifikasinya pun, saya akan mengemasnya sehalus mungkin, atau bahkan tidak perlu saya katakana karena simply itu bukan urusan saya.



Konstruksi sosial yang dimanifestasikan dengan labeling itu yang kadang membuat saya harus mendongakkan kepala tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam-dalam. Eye shadow gelap yang saya gunakan kadang fungsinya untuk menyembunyikan rasa tidak percaya diri. Tidak se-ekstrem Beyonce yang punya alter ego, eye shadow tersebut member saya kekuatan untuk jadi percaya diri. Sama seperti lipstick merah pada film Why I Wore Red Lipstick on My Mastectomy. Lipstik merah digunakan ketika operasi pengangkatan payudara seorang wanita digunakan. Untuk menambah kekuatan. Ya, se-sederhana itu. Bukan untuk mencari perhatian –apalagi diberi label banci.

Konstruksi sosial itu dengan tidak nyata (tapi disetujui) mengemukakan bahwa laki-laki, manusia yang memiliki penis dan kadang bulu dada, harus pandai bermain bola, harus pandai berkelahi, harus bisa bermain basket, atau simply bermain dengan laki-laki (juga). Laki-laki yang menggunakan make up, apapun alasannya, harus disebut banci atau bencong, atau di dunia barat, mungkin gay. Hmm. Lalu saya ada di kategori kedua. Tidak ada kompromi pada konstruksi sosial ini. Mereka tidak mau tahu apa gender dari manusia itu. Mereka tidak mau tahu kenapa manusia berpenis (besar atau kecil) itu lebih nyaman bersama perempuan. Dan lelaki feminine pasti seorang homoseksual. Ini ekstrem. Padahal, mamusia yang punya penis tapi pakai make up belum tentu homoseksual.

Suatu hari saya lewat fakultas psikologi. Beberapa dari mereka tak jauh beda. Melihat, lalu tertawa. Kadang tertawa bersama-sama setelah sebelumnya berbisik kepada temannya menyuruh supaya mereka melihat saya juga. Saya tidak masalah. Atau saya tidak lagi menjadikannya masalah besar. Tapi kenapa mahasiswa psikologi yang harusnya (ini ideal dan memaksa) punya daya analitis terhadap hal-hal seperti ini justru jadi salah satui opresor? Saya akan malu jika jadi mereka. Lebih jauh lagi, kenapa penis berarti maskulin? Kenapa vagina selalu feminin? Kenapa mereka percaya dan menyetujui hal ini? Jika ada yang bisa menjelaskan secara sosiologis, psikologis, antropologis, atau berdasarkan ilmu apapun, saya menerima dengan senang hati 




Pics: google.com, tumblr.com, paintedeggshells.blogspot.com

Komentar

  1. suka tulisanmu, sama seperti saat suka pertama kali bertemu denganmu... hehehehe...
    Waktu awal ketemu, dirimu memang terlihat "shining" dan unique tapi jauh dari label banci atau bencong sih... soalnya dirimu tak melambai juga... jadi gw melihat eye shadow,maskara dan eye liner itu seperti aksesoris aja... kayak2 anak2 band techno dulu di era 90an yg malah pake kuteks item juga...
    Terus mendongak ya, jangan berhenti berkarya... penilaian orang banyak belum tentu yg benar :)

    BalasHapus
  2. Aduh diriku tersanjung, mbak :') ;')
    Semoga selalu bisa bekerja sama untuk membuka mata lebih banyak muda mudi di luar sana. Supaya bisa mendongak dan berkarya.

    Makasih banyaaak :-D

    BalasHapus
  3. uty suka tulisannyaaaa!!
    mungkin mereka belum biasa ngeliat yang namanya perbedaan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih suhu blog-ku sayaaaaang :)

      Iya, ini lebih ke curhat sih ya. Tapi kadang kesel juga diliatin gitu. Hihihi. But life goes on anyway. Keep goingggg

      Hapus
    2. macama ntiiiik :3

      tapi curhatannya mutu, coba curhatan gue mah ga banget. ini bisa jadi inspirasi orang-orang loooh... krn walaupun curhat bentuk tulisannya menarik. keep posting utyyyy!!

      Hapus
  4. who round the WORLD??!! UTY!!! huhu diriku terlupakan. bye guru spiritual, eyang tandus... :'<

    _rural girl (ceritanya misterius banget niccchhh)

    BalasHapus
  5. Bagus! Mesti dikirim ke Wall Mag Fakultas Psikology kayaknya, kalau hanya di sini, pesan syarat nilai holistik ini sukar untak tersampaikan... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hei terima kasih sudah meninggalkan jejak :-)

      Hahaha nanti kucoba cari cara supaya bisa masuk ke wall mag psikologi hehe

      Hapus
  6. manusia gak mau repot berpikir, senengnya yang simple-simple, makanya gampang untuk mereka melabeli sesuatu even itu manusia yang kadarnya jauh lebih kompleks.

    manusia seneng yang simple-simple, melabeli orang biar gak repot berpikir. Tapi, biasanya keberatan kalau dinilai simple. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, ya. Kadang-kadang sedih kalo diingat-ingat bagaimana mereka menanggapi orang seperti saya. Seringkali lebih dari sekadar melihat sinis.

      Labeling ini udah mendarah daging banget sih.

      Hapus
  7. Aku suka tulisanmu.

    Ya, semuanya tentang konstruksi sosial. Kalo saya menyebutnya, oppressive gender archetypes.
    Kotak-kotak sosial yang arkaik, kuno, dan seharusnya sudah tidak relevan lagi. Variasi di dunia ini tidak terbatas. Kotak-kotak sosial inilah yang menafikan keindahannya, seperti dirimu.

    Btw, tentang mahasiswa psikologi tersebut. C'mon. Mereka masih mahasiswa xD
    Selain itu, dunia psikologi juga masih dipenuhi dengan bias sosial. Perbenturan dengan belief system pribadi dengan literatur yang mereka pelajari di kuliah. Dan sayangnya, banyak yang tidak cukup bijak mengambil jembatan damai antara keduanya.

    Selain itu, ya biasalah ilmu pengetahuan di Indonesia masih ketinggalan. Hanya mengejar ilmu praktikal pragmatisme tanpa memaknai betul holistiknya.
    Btw, saya ada pernah nulis tentang hal ini. Tentang Sex (Jenis Kelamin), Gender, dan Orientasi. Di sini agak lebih detil tentang jenis kelamin, tapi lumayan saya ada tulis sekilas ttg perbedaan 3 konsep itu. Semoga berguna. :)

    http://fannyrofalina.blogspot.com/2013/05/kajian-gen-dalam-menentukan-jenis.html#.Ug2uW5I3DoY

    BalasHapus
  8. Wow! Komentarmu benar-benar komprehensif. Terima kasih ya sudah baca :-)

    Perbedaan belief system dan literatur ini pernah sekali saya baca di sebuah tulisan. Inti tulisannya adalah bahwa dia bimbang saat kuliah di universitas Islam, namun literatur yang dia baca ditulis oleh seorang yang dianggap Kaballah (kurang tau benar atau enggak). Efeknya dia ingin pindah jurusan karena dianggap tidak syariah. Memang besar sekali efek dari masalah ini.

    Langsung meluncur ke blog-mu! :-)

    BalasHapus
  9. ngopi aja biar maskulin, hell yeah :P

    BalasHapus
  10. ngopi aja biar maskulin bwehehehehe ^^

    BalasHapus
  11. ngopi aja biar maskulin bwehehehehe ^^

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer